MAKALAH
KESADARAN KOLEKTIF
Disusun
Oleh : Kelompok 2
Anggota
:
Ikin
Sodikin
Wirdah
Yuniar
Siti
Maryam
Dea
Jeni
MADRASAH ALIYAH NEGERI 3 SUKABUMI
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT karena dengan
limpahan rahmat, inayah serta nikmat-Nya yang tak terhingga kepada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Kesadaran Kolektif” ini dengan
lancar.
Kami berharap
dengan adanya makalah ini, para pembaca dapat memahami tentang Kesadaran
kolektif.
Kami sadar bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan masukan, saran,
ataupun kritik dari para pembaca sekalian demi penyusunan kembali makalah ini
sehingga menjadi lebih baik.
Surade, 04 Maret 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumuan Masalah
C.
Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kesadaran Kolektif
B.
Kesadaran
Kolektif dan Pembagian Kerja
C.
Teory sosiologi
klasik Emile Durkheim
D.
Kesadaran
Kolektof dan kreasi Murni
E.
Kesadaran
kolektif dalam masyarakat multicultural
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata sebuah pepatah, banyak orang itu lebih baik dari sedikit
apatalagi satu orang. Banyak orang mengindikasikan banyaknya tenaga, karena
terhimpunya beberapa kekuatan dari setiap orang. Terhimpunya beberapa
pemikiran, solusi, metode, alat dan energi. Dengan begitu semua kegiatan yang
dikerjakan akan menjadi ringan, efektif dan efisien. Itulah keuntungan besar
dari kebersamaan.
Dalam kehidupan sosial, berkumpullah beberapa orang dengan berbagai
latar belakang dan kultur yang berbeda sebagai akibat asimilasi dan akulturasi
budaya. oleh karena itu, kehidupan sosial sebagai wujud kehidupan bersama harus
terbangung dari kehendak kolektif dalam bentuk kesepakatan sosial yang kemudian
dijewantahakan kedalam norma-norma sosial yang mengatur kehidupan bersama.
Regulasi moral ini sebagai aturan kolektif untuk menjaga tatanan kehidupan
kelompok masyarakat tersebut. Regulasi yang terbangun dari play stage (diri ),
game stage (keluarga ) sampai pada sosial stage, sehingga integritas sosial
yang terbangun dari setiap individu menjadi lebih kuat. Ini akan berlangsung
dengan baik dengan adanya proses sosialisasi,
internalisasi, dan identifikasi yang dilakukan setiap individu untuk
memahami dan mengikatkan dirinya pada regulasi moral yang ada. Ketaatan pada
regulasi moral ini akan akan melahirkan integritas dan solidaritas sosial yang
mampu menyatukan dan menggerakan masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu
kesadaran Kolektif
2.
Bagaimana
Kesadaran Kolektif dan Pembagian Kerja
3.
Bagaimana
Kesadaran Kolektif Menurut Emil Durkheim
4.
Apa itu
kesadaran kolektif dan kreasi murni
5.
Bagaimana
Kesadaran kolektif dalam masyarakat multicultural
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk dapat
mengetahui Apa itu kesadaran Kolektif
2.
Untuk dapat
mengetahui Bagaimana Kesadaran Kolektif dan Pembagian Kerja
3.
Untuk dapat
mengetahui Bagaimana Kesadaran Kolektif Menurut Emil Durkheim
4.
Untuk dapat
mengetahui Apa itu kesadaran kolektif dan kreasi murni
5.
Untuk dapat
mengetahui Bagaimana Kesadaran kolektif dalam masyarakat multicultural
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kesadaran Kolektif
Kata kesadaran merupakan terjemahan dari bahasa inggris
consciousness. Arti yang dimaksud berasal dari kata conscience yang berarti
hati nurani atau suara hati.
Kata kolektif menunjukan yang sangat luas. Kolektif bisa menunjuk
pada kelompok atau umat manusia.
”Social current” adalah arus kelompok sewaktu. Yang berarti bahwa
kesadaran kolektif yang terdapat dalam diri seseorang hanya ada pada saat
mereka berkumpul dan setelah mereka bubar, hilang pulalah kesadaran kolektif
itu.
Ritus adalah semua gerak atau ucapan kata atau kalimat yang ada
dalam satu konteks (agama) tertentu mempunyai arti dan fungsi tertentu.
Seremoni sama dengan upacara resmi. Seremoni dikaitkan dengan
ritus. Seremoni sering dikaitkan pada kehidupan agama dan negara.
B.
Kesadaran
Kolektif dan Pembagian Kerja
“Masyarakat bukan semata penjumlahan individu, tapi sistem yang
dibentuk oleh hubungan antarmereka yang mewakili realitas spesifik dengan
karakteristik tersendiri.” (Emile Durkheim)
Masyarakat bukan kumpulan penjumlahan individu, tapi sebuah sistem
yang terbentuk atas relasi antarindividu berdasarkan karakteristik mereka.
Masyarakat adalah realitas sui generis; ia memiliki karakteristik khasnya
sendiri, yang tidak ditemukan dimanapun dan yang tidak bertemu lagi dengan
bentuk yang sama di alam semesta. (Calhoun, 2012).
Pemikiran ini dilontarkan Emile Durkheim, sosiolog Prancis yang
hidup antara tahun 1858-1917. Salah satu cara Durkheim membuktikan “klaim”
bahwa masyarakat bukan semata penjumlahan individu adalah melalui ide tentang
kesadaran kolektif (collective conscience) atau kebiasaan kolektif (collective
habits) yang diekspresikan dalam bentuk tertentu, seperti aturan hukum atau
aturan moral, pernyataan popular, atau fakta dari struktur sosial. (Joseph,
2005)
Menurut Durkheim, ekspresi dari representasi kolektif adalah cara
kelompok tersebut berpikir tentang diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan
objek yang mempengaruhi mereka. (Joseph, 2005). Durkheim menyebut, “Melalui
representasi kolektif, kita mendapatkan konsepsi tentang diri kita sendiri,
tentang orang lain, dan tentang relasi kita dengan dunia natural.”
Terminologi “conscience” dalam bahasa Prancis, berlaku untuk hati
nurani (conscience) maupun kesadaran (consciousness). Ini bukanlah ekspresi dari kesadaran
individual, tetapi sesuatu yang objektif yang terbangun menurut aturan hukum
tersendiri. Dengan mengembangkan kesadaran kolektif, moralitas kita menjadi
universal. (Joseph, 2005).
Guna memahami kesadaran kolektif ini, Durkheim mencari akarnya pada
agama. Ia meneliti agama primitive suku aborigin Australia. “Ketika kepercayaan
agama primitive dianalisa secara sistematik, kategori prinsip ditemukan secara
alami. Mereka lahir dalam agama dan oleh agama; mereka produk dari pemikiran
religius,” tulis Durkheim dalam bukunya The Elementary Forms of Religion Life
yang terbit tahun 1912. (Calhoun, 2012).
Dalam analisisnya tentang kesadaran kolektif, Durkheim mengonsepnya
dalam empat variabel, yakni volume, intensitas, determinasi, dan religiusitas
versus konten sekular.
Volume menunjuk pada derajat nilai-nilai, kepercayaan, dan aturan
tentang kesadaran kolektif yang dibagikan oleh anggota masyarakat. Intensitas
mengindikasikan perluasan ke kesadaran kolektif yang memiliki kekuatan untuk
membimbing tindakan dan pikiran seseorang. Determinasi menunjuk pada derajat
kejelasan komponen dalam kesadaran kolektif. Konten berkaitan dengan
perbandingan agama dan simbolisme
sekular. (Turner, 1981).
Masyarakat yang memiliki volume, intensitas, dan determinasi yang
tinggi serta rasio konten agama yang tinggi (menekankan komitmen dan kecocokan
untuk mendiktekan kekuatan sakral), ia golongkan sebagai masyarakat dengan
solidaritas mekanik (mechanical solidarity). Sementara masyarakat dengan
volume, intensitas, dan determinasi yang rendah serta rasio secular yang lebih
tinggi karena lebih menekankan individualitas, ia golongkan sebagai masyarakat
dengan solidaritas organik (organic solidarity).
Solidaritas mekanik ini biasanya muncul pada struktur sosial
masyarakat yang lebih kecil dan punya relasi kekerabatan, seperti klan atau
suku. Kesadaran kolektif dalam struktur masyarakat seperti ini lebih tinggi dan
kebebasan ataupun otonomi individu lebih rendah.
Sementara pada masyarakat dengan struktur sosial yang lebih luas,
kesadaran kolektif menjadi “lemah” dan “lebih abstrak” (Turner, 1981) karena
spesialisasi peran individu dalam masyarakat lebih beragam. Ketergantungan
antarindividu dalam solidaritas organik terjadi bukan karena relasi
kekerabatan, tetapi karena pertukaran, kontrak hukum, maupun norma yang
mengatur hubungan antarindividu. Hal ini terjadi karena makin kompleksnya
pembagian kerja dalam masyarakat modern.
Fungsi pembagian kerja, yang dalam pandangan Durkheim, semestinya
mempromosikan solidaritas sosial (social solidarity) atau integrasi
masyarakat (societal integration)
menimbulkan “patologi” dalam masyarakat modern.
Dalam bukunya The Division of Labor, Durkheim menulis,”Hingga saat
ini, kita telah mempelajari pembagian kerja hanya sebagai fenomena normal.
Tapi, seperti semua fakta sosial, dan lebih umumnya, semua fakta biologi, ini
menyajikan bentuk-bentuk patologi yang mesti dianalisa. Meskipun secara normal
pembagian kerja menghasilkan solidaritas sosial, kadang-kadang terjadi hal yang
berbeda dan bahkan menhasilkan
kebalikannya.” (Turner, 1981).
Kebalikan dari solidaritas sosial tersebut adalah apa yang
diistilahkan Durkheim sebagai anomie.
Anomie menggambarkan ketidakcukupan regulasi normative dari
aktivitas individu yang mengakibatkan mereka tidak merasa lekat pada
kolektivitas. (Turner, 1981). Durkheim mengakui bahwa industrialisme,
urbanisasi, spesialisasi pekerjaan, dan pertumbuhan birokrasi negara telah
mengurangi fungsi keluarga, agama, wilayah, tetangga sebagai mekanisme
mempromosikan integrasi individu ke dalam kolektivitas masyarakat. (Turner,
1981).
Melihat situasi ini, Durkheim merasa perlunya struktur baru yang
bisa menghindari anomie. Struktur ini mempromosikan solidaritas sosial dalam
beberapa cara. Pertama, struktur tersebut mengorganisasikan spesialisasi
pekerjaan ke dalam sebuah kolektif. Kedua, struktur tersebut menjembatani
jurang antara kondisi terpencil (the remote state) dan kebutuhan spesifik serta
hasrat individual. Ketiga, struktur tersebut menyediakan alternatif fungsional
untuk loyalitas lama yang dimunculkan oleh agama, kedaerahan, dan kekerabatan.
(Turner, 1981)
Durkheim memilih jalan kompromi untuk menyelesaikan persoalan yang
muncul di masyarakat karena ia melihat bahwa chaos disebabkan oleh pikiran dan
tindakan individu yang kehilangan kelekatan dengan masyarakat.
Krisis yang terjadi dalam masyarakat kapitalisme, dilihat oleh
Durkheim bukan disebabkan oleh ekonomi tapi moral, seperti terefleksi dalam
proses anomie atau kekurangan atau ketiadaan norma masyarakat (Josep, 2005).
Kondisi ini akan pulih jika tatanan tersebut dikembalikan atau diperbaiki.
Sebagai contoh, krisis ekonomi yang terjadi saat ini
diinterpretasikan sebagai ketidakmampuan sementara dalam menghadapi perubahan
sosial yang cepat. Sehingga yang diminta adalah perluasan komunikasi antara
produsen dan konsumen, bukan transformasi dari kapitalisme ke sosialisme
(Seidman, 2008).
Pandangan ini jelas berbeda dengan Karl Marx yang melihat krisis
ekonomi sebagai aspek fundamental dari masyarakat kapitalis, karena seluruh
sejarah masyarakat—klaim Marx—adalah sejarah perjuangan kelas.
C.
Teori Sosiologi
Klasik Emile Durkheim -Fakta Sosial
Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang
dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa
juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum
dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari
manifestasi-manifestasi individual.
Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial:
1.
Fakta sosial
Material
Fakta sosial material lebih mudah dipahami karena bisa diamati.
Fakta sosial material tersebut sering
kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuta yang sama-sama
berada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut
dengan fakta sosial nonmaterial.
2.
Fakta sosial
Nonmaterial
Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki batasan
tertentu, ia ada dalam fikiran individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika
orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi
hukumnya sendiri. Individu masih perlu sebagai satu jenis lapisan bagi fakta
sosial nonmaterial, namun bentuk dan isi partikularnya akan ditentukan oleh
interaksi dan tidak oleh individu. Oleh karena itu dalam karya yang sama
Durkheim menulis : bahwa hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi
melalui manusia; mereka adalah produk aktivitas manusia.
Jenis-jenis fakta sosial nonmaterial:
1.
Durkheim
tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin bahwa
moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari
secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa individu, dan
bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya, moralitas bukanlah
sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti
dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog
moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada “kesehatan” moral
masyarakat modern.
2.
Kesadaran
Kolektif
Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut;
“seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah
masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri,
kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan
demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa
disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular”.
Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama,
kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia
menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim
memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan
fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari
basis material sebagaimana yang dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif
baru bisa “terwujud” melalui kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma,
dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adalah konsep yang sangat terbuka
dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa
masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian,
norma, dan kepercayaan bersama , lebih dari masyarakat modern.
3.
Representasi
Kolektif
Contoh representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan
legenda populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai
kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif.
Representasi kolektif juga tidak bisa direduksi kepada
individu-individu, karena ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya bisa
dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material
seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti
ritual.
4.
Arus Sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak
menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan “dengan
luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan” yang terbentuk dalam kumpulan
publik.
5.
Pikiran
Kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah
kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis
saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual
terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri
berdasarkan hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka
sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat
psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia biasa.
(Doyle P Johnson.1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jil 1.
Jakarta: Gramedia
George Ritzer dan Douglas J.Goodman. 2011. Teori Sosiologi. Jil 6.
Bantul: Kreasi Wacana)
D.
Kesadaran
Kolektif dan Kreasi Murni
Bila kita melihat sejarah dan keadaan sekarang, sering banyak
diantara kita merasa bahwa sangat susah bila kita ingin mengubah keadaan dunia.
Dalam hal ini saya membicarakan keadaan kemaslahatan masyarakat.
Kesadaran kolektif masyarakat Indonesia yang saya rasakan adalah
suka bertahan di keadaan sekarang dan seperti sedikit takut bermimpi.
Apa yang saya maksud dengan kesadaran kolektif ini? Kesadaran
kolektif adalah kesadaran masyarakat atau suatu komunitas bahwa suatu pandangan
adalah benar dan untuk keluar dari pandangan itu, tentunya adalah kegiatan
melawan arus.
Mari kita lihat dari beberapa keadaan di sejarah. Contohnya Nazi
Jerman dengan Adolf Hitler. Yang pernah saya pelajari dari menonton, membaca
dan mendengar cerita tentang Nazi, bangkitnya partai Nasional Sosialis yang
dipimpin Adolf adalah timbul karena keterpurukan jerman pada saat itu secara ekonomi.
Dengan menangnya partai Adolf pada saat itu membuktikan bahwa pada saat itu,
kebanyakan orang jerman setuju dengan pandangan Adolf.
Disinilah sejarah perang dan holocaust terjadi dan akhirnya
selesai.
Apa yang terjadi, mengapa akhirnya Hitler kalah, adalah karena
kesadan kolektif yang terjadi didunia dan di Jerman akhirnya berubah. Kesadaran
kolektif lain timbul, mengalahkan yang lama. Hitler memulai pemikirannya dari
kreasi murni seorang individual dan menjadi fenomena kesadaran kolektif jerman
pada saat itu.
Apa maksud semua ini dan apa hubungannya dengan bisnis dan ekonomi?
Saya berharap bahwa akan lebih banyak lagi wiraswastawan di Indonesia yang
sukses dan mau mengambil jalur kreasi murni sebagai individu seperti jamannya
Hitler pada saat itu, atau kalau mau yang lebih positif bisa diambil Nelson
Mandela yang dimana kreasi murni pemikirannya yang sangat kuat dia pertahankan
untuk beberapa dekade telah berhasil menghancurkan kesadaran kolektif Afrika
Selatan yang telah berubah saat ini dari Apartheid.
Mari bangsa Indonesia, bangkitlah dan belajarlah menjadi
wiraswastawan yang sukses untuk merubah kesadaran kolektif bangsa ini yang
menurut saya kebanyakan bermental karyawan dan merupakan kosumen negara- negara
lain. Mari kita bangkit dan jaga kekayaan negara kita untuk Indonesia menjadi
trendsetter negara-negara lain di masa datang.
Saya Juristian Amadin akan berusaha sharing pengalaman dari hidup,
pelajaran, pekerjaan saya sebagai business coach dan juga saya akan share semua
pengalaman saya yang saya pelajari dari mentor-mentor bisnis sukses dunia.
Terima kasih
E.
Kesadaran
Kolektif Dalam Masyarakat Multikultural Dalam Perspektif Marxisme
Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mempunyai anggota
dari berbagai corak produksi dan kebudayaan yang berbeda. Mereka membaur jadi
satu karena ada beberapa faktor yang menyatukan mereka diantaranya ialah faktor
ekonomi, geografis, dan agama. Kesamaan faktor tersebut lah yang membentuk
kesatuan masyarakat multicultural. Masyarakat multicultural bercorak heterogen.
Inilah yang membuat masyarakat multicultural sangat unik.
Jika kita berbicara tentang masyarakat, maka kita tidak bisa lepas
dari kesadaran kolektif. Sebelum menelisik lebih jauh soal kesadaran kolektif,
ada baiknya kita lihat bagaimana Karl Marx berbicara soal kesadaran dari
perspektif Materialisme Dialektika :
“… Bukan kesadaran manusialah yang menentukan eksistensinya,
melainkan sebaliknya; eksistensi sosialnyalah yang menentukan kesadarannya.”
Dalam kalimat yang singkat tersebut, Karl Marx berbicara bahwa yang
menentukan kesadaran ialah eksistensi sosial. Misalnya, ketika kita berhitung
aritmatika untuk keperluan perdagangan, kesadaran berhitung tersebut kita
peroleh bukan karena pemikiran yang membentuknya, melainkan karena eksistensi
perhitungan itu sendiri yang muncul akibat pengalaman. Ada istilah mengatakan
bahwa pengalaman itu lah yang membentuk kesadaran. Akan tetapi tidak
semerta-merta pengalaman yang membentuk kesadaran tersebut, pengaruh terbesar
berasal dari corak produksi dan kondisi material yang ada. Engels mengatakan :
“Kerja adalah sumber segala kekayaan, demikian dinyatakan oleh para
ahli ekonomi-politik. Inilah — di samping alam, yang membekalinya dengan
material, yang diubahnya menjadi kekayaan. Tetapi ia secara tidak-terhingga
juga lebih daripada ini. Ia adalah kondisi dasar utama bagi semua keberadaan
manusia, dan ini hingga batas sedemikian rupa sehingga, dalam arti tertentu mengharuskan
kita berkata: kerja itu sendiri yang menciptakan manusia.”
Corak produksi yang dimaksud Engels ialah kerja. Engels memahami
bahwa kerja adalah faktor utama pembentuk segala aktivitas manusia yang primer
maupun sekunder. Kombinasi antara kerja dengan kondisi material – yaitu berupa
alam – menghasilkan bentuk kesadaran secara individual maupun kolektif. Inilah
yang akhirnya menjadi jalan pembentuk sejarah manusia. Engels menegaskan bahwa
sejarah manusia diciptakan dari kerja yang dilakukan manusia itu sendiri. Marx
menambahkan bahwa sejarah manusia yang diciptakan dari kerja tersebut
menghasilkan pertentangan terus menerus secara dialektis. Tentunya bentuk
pertentangan tersebut ialah pertentangan kelas. Inilah yang termaktub dalam
Manifesto Partai Komunis.
Kesadaran Kolektif
Kesadaran kolektif sendiri muncul dari aktivitas manusia yang
berkumpul membentuk kesatuan masyarakat yang saling melengkapi. Jika kesatuan
masyarakat itu bubar, maka kesadaran kolektif itu hilang. Kesadaran kolektif
lah yang menyatukan setiap individu dan menambahkan peran mereka menjadi
anggota masyarakat. Biasanya, masyarakat yang heterogen seperti masyarakat
multicultural mempunyai kesadaran kolektif yang tinggi akibat berbagai faktor
yang telah disebutkan diatas. Salah satu ahli sosiologi yang meneliti soal
kesadaran kolektif ialah Emilie Durkheim. Durkheim adalah seorang pelopor
sosiolog modern yang berhasil meneliti fakta-fakta sosial yang muncul dalam
masyarakat karena kesadaran kolektif. Menurut Durkheim, salah satu bentuk kesadaran
kolektif yang paling menonjol ialah agama. Agama adalah faktor yang membentuk
masyarakat multicultural jua, selain faktor ekonomi dan faktor geografis.
Namun, jika kita berbiara dari perspektif Marxisme, maka kita akan menemukan
bahwa bangunan bawah yang membentuk kesadaran suprastruktur ialah corak
produksi. Corak produksi ialah sumber utama kesadaran kolektif. Dalam these on
Feuerbach, Marx menegaskan bahwa :
“Oleh karenanya, Feuerbach tidak melihat bahwa "sentimen
keagamaan" itu sendiri adalah hasil sosial, dan, bahwa perorangan yang
abstrak yang dianalisanya nyatanya termasuk bentuk khusus dari masyarakat.”
Pernyataan Marx tersebut berkaitan dengan pernyataan Emilie
Durkheim yaitu bahwa agama sebagai salah satu realisasi dari kesadaran
masyarakat. Ini hanyalah merupakan salah satu contoh dari bentuk kesadaran
kolektif yang mempengaruhi keragaman masyarakat multicultural.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a.
Fakta sosial
adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri
individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta
sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan
pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi
individual.
b.
Fakta Sosial
menurut Durkheim dapat dibedakan menadi dua tipe yaitu fakta sosial material
dan non material.
c.
Karakteristik
fakta sosial yaitu :
·
Gejala sosial
bersifat eksternal terhadap individu.
·
Fakta itu
memaksa individu.
·
Fakta itu
bersifat umum.
d.
Manusia adalah
makhluk yang kreatif dalam membangun dunia sosialnya sendiri. Fakta sosial
inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi.Fakta social
dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu (Thing) yang berbeda
dengan ide.Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu
pengetahuan.Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif).
Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran
manusia.
DAFTAR PUSTAKA